ROTI MANDARIN

SEMULA HANYA INDUSTRI RUMAHAN, KINI OMZETNYA PULUHAN JUTA RUPIAH*** Kerja apapun, kalau dilandasi dengan semangat tinggi, ulet, pantang menyerah dan tidak malu-malu karena memang halal pasti akan membuahkan hasil. Ini juga dialami Hj Sukartiningsih Ali Kusno. Dimulai dari satu kilogram telur, rotinya ditawarkan dari warung ke warung, kadang-kadang dipandang sebelah mata. Tetapi karena ulet, pantang menyerah, kini usahanya berkembang dan omzetnya lebih dari seratus juta rupiah satu bulan.

Jangan mencari letak Dusun Gandok, Desa Bangunharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di peta, karena tidak tercantum di sana. Di peta Kabupaten Bantul pun tak nampak.

Namun belakangan ini, Gandok banyak dicari orang setelah di sana berkembang home industry Roti Marina, yang manis, gurih dan empuk. Harganya juga terjangkau kantong masyarakat jauh lebih murah dibanding harga di toko.

Marina terkenal dengan roti Mandarinnya. Hanya dengan Rp 7.500 kita sudah bisa bawa pulang satu loyang roti Mandarin, cukup pantas dipotong menjadi 12. Ukuran lebih besar lagiharganya Rp 10.000, Rp 14.000, dan yang super Rp.16.000. Cake gulung maupun cake tapenya juga enak. Sementara untuk jenis bolu, harganya lebih murah lagi. Prinsipnya biar untung sedikit tetapi omzetnya besar.

Di rumahnya yang terletak di pinggir jalan Imogiri Barat KM 7,3 inilah bisnis rotinya menggelinding. Pesanannya terus mengalir. Kalau sedang banyak orang hajat, sehari lebih dari seribu loyang roti harus disiapkan. Itu berarti produksi dilakuka siang dan malam.

Pesanan tidak saja datang dari kawasan DIY tetapi juga sampai Klaten Purworwjo, Magelang dan lain-lain. Daftar pesanannya ditulis berderet di beberapa white board mulai dari beberapa dos sampai ratusan sesuai kebutuhan. Kalau dirupiahkan, sebulan mencapai lebih seratus juta.

Untuk memenuhi pesanan, rata-rata setiap hari Marina membutuhkan paling tidak satu kwintal telur ayam, gula pasir, mentega, moka dan tepung. Semua sudah ada pemasoknya. Tidak perlu jauh mencari-cari. Usaha ini juga bisa menghidupi 17 orang karyawannya termasuk seorang supir, dengan penghasilan memadai untuk ukuran daerah.
Promosinya hanya dari mulut ke mulut. Didukung dengan label yang dicantumkan pada penutup dosnya. Terlebih setelah telepon masuk desa pemesan tinggal angkat telepon, roti siap diambil atau diantar sesuai jadwal.

Bisnis ini juga berkembang berkat pergeseran kebiasaan masyarakat yang dulu selametan dengan nasi kini banyak yang menggantikannya dengan roti. Selain lebih praktis, juga bisa awet 3-4 hari, berbeda dengan nasi dan lauk pauk yang cepat basi.

Di wilayah pelosok seperti Dlingo Bantul dan Panggang Gunung Kidul pun sekarang banyak yang memesan roti sebagai hantaran hajatan.

Order memang kini sudah mengalir sendiri, teapi sukses ini tidak mengalir dengan tiba-tiba. Hj Sukartiningsih yang semula buka warung kelontong dan membuat es Apollo, dengan susah payah membuat roti sejak April 1994 hanya denagn satu kilogram telur.

Menggunakan mixer kecil dan oven kecil kapasitas satu loyang dengan kompor minyak tanah. Karena lokasi di desa, untuk membelia bahan-bahan pun titip pada anaknya yang (waktu itu) kuliah di STIE Yogyakarta.

Mula-mula bikin bolu bulat, istilah populernya roti seret. Harganya Rp1.500, Rp 2.000 dan Rp 2.500. Tidak malu-malu malah bersama suaminya yang karyawan PLN Yogyakarta mencoba menawarkan ke warung-warrung. Awalnya sering hanya dipandang sebelah mata, katanya.

Tetapi ia pantang mundur, meski anak-anaknya sering mengingatkan kalau ia bekerja sampai larut malam. Bahkan menurut Hj Sukartiningsih, suaminya pun semula tak begitu yakin usaha ini berkembang seperti saar ini.

Dari keinginannya untuk maju, September 1994 ia mencoba membuat roti oaring mandarin. Belajar sendiri adri membaca atau omong-omong dengan pemilik took bahan roti. Tidak pernah kursus formal. Pertama kali memang gagal karena ia melapiskan selai saat roei setengan matang di dalam oven. Setiap kegagalan, menjadi tantangan untuk bisa mencari yang terbaik.

Awalnya mandarin produksi Marina bentuknya kecil memanjang, harganya Rp.1000 dititip di pedagang pasar dengan sistem konsinyasi. Ketika pesanna sudah mulai banyak dan haarga bahan-bahan makin mahal, konsinyasipun dihentikan. Semua harus tunai.

Mixer pun diganti besar, sekali aduk untuk 10 loyang. Demikian juga oven kecil yang semula untuk satu loyang kini sekalian masuk bisa 10. Pembakarnya juga dengan gas. Kini ada 10 oven berderet di ruang produksinya yang sangat luas.

Di tempat inilah 16 karyawanwanitanya bekerja dengan cekatan. Dengan latar belakang pendidikan hanya SMP, Hj Sukartiningsih mengendalikan usaha ini dengan manajemen tradisional. Yang penting pengeluaran harus lebih kecil dari pemasukan.

Kunci sukses: Apa kunci suksesnya? "Saya berpegang pada rasa, kualitas dan pelayanan. Menurut saya pelayanan ini sangat penting. Jangan sampai pembeli kecewa karena merasa disepelekan, itu pantangan. Juga tepat waktu," katanya.

Ia selalu berusaha menyempurnakan baik rasa maupun tampilan. Meski produksi desa, tetapi roti Marina tidak menggunakan pemanis maupun pengawet dan sejak 1995 telah mendapat izin dari Depkes.

Nama Marina diambil dari nama anak sulungnya Arina, ditambah M di depannya bermakna mamanya Arina. Ternyata nama itu cukup membawa rejeki.

Delapan tahun sudah waktu berjalan. Kini pasangan Hj Sukartiningsih – H Ali Usno telah menikmati hasil perjuangan panjangnya. Rumah yang luas, tanah, mobil kijang baru dan sedan bagus, membiayai kuliah kedua anaknya, satu di nantaranya sudah selesai dan biaya naik haji berdua.

Menyadari roda usahanya didukung sepenuhnya oleh seluruh karyawan, maka ia selalu memperhatikan kesejahteraan mereka. Bertepatan dengan peringatan sewindu Roti Marina, Hj Sukartiningsih menghadiahi seluruh karyawannya dengan sepeda baru. Selain sebagai tanda terima kasih kepada karyawan, sekaligus juga syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rejeki. Dan itu hanya bisa didapat dengan kerja keras. (miol-BKKKBN Pusat)